Di balik keindahan alam Desa Paramasan Atas, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, tersimpan kisah kelam yang mengejutkan banyak pihak. Seorang perempuan muda, yang baru saja mengikat janji suci dengan pria pilihannya, mendadak menjadi sorotan setelah diduga mengakhiri kisah rumah tangganya dengan cara paling tragis yang bisa dibayangkan.

Fatimah (nama disamarkan), wanita yang baru sebulan membina rumah tangga, awalnya tampak seperti istri pada umumnya. Namun siapa sangka, pernikahan yang baru seumur jagung itu justru membawa badai yang merenggut ketenangan hidupnya, bahkan menggiringnya pada tindakan yang mencengangkan.

Menurut penuturan warga sekitar, hubungan Fatimah dengan suaminya tak pernah benar-benar harmonis sejak hari pertama. Mereka kerap terlibat adu argumen hingga pertengkaran yang tak jarang menarik perhatian tetangga. Puncaknya, peristiwa yang melibatkan anak dari Fatimah menjadi titik balik dari semuanya.

Sang suami, yang diketahui memiliki perangai kasar, mulai menunjukkan sikap tak wajar terhadap anak Fatimah dari pernikahan sebelumnya. Salah satu kejadian yang membuat masyarakat setempat terpukul adalah ketika anak tersebut nyaris menjadi korban kekerasan ekstrem—dilempar ke sungai oleh sang ayah tiri. Untungnya, anak itu berhasil diselamatkan oleh warga yang kebetulan berada di sekitar lokasi kejadian.

Peristiwa itu menjadi pemantik api dalam diri Fatimah. Ia yang selama ini menahan emosi dan terus berupaya mempertahankan rumah tangganya, akhirnya kehilangan kendali. Amarah yang lama dipendam, sakit hati karena perlakuan terhadap anaknya, serta rasa takut akan keselamatan keluarganya, membuatnya mengambil keputusan yang mengejutkan.

Beberapa hari setelah insiden tersebut, sang suami dilaporkan hilang. Warga mencurigai sesuatu ketika pria itu tak tampak di sekitar rumah maupun wilayah desa. Setelah dilakukan pencarian, jasad sang suami ditemukan dalam kondisi mengenaskan di kawasan hutan tak jauh dari desa mereka.

Penemuan itu sontak menggegerkan masyarakat. Tak lama kemudian, Fatimah menyerahkan diri ke pihak berwajib. Dalam kondisi yang tampak linglung dan tidak banyak berbicara, ia diam-diam mengakui perbuatannya kepada aparat. Warga dan kerabat terdekat menyebut bahwa sejak kejadian itu, Fatimah terlihat seperti orang yang kehilangan arah. Pandangannya kosong, geraknya lamban, dan hampir tak menyapa siapa pun.

Sebagian warga bersimpati, bahkan tak sedikit yang memahami alasan di balik tindakan nekat Fatimah. “Dia ibu, pasti sakit hati kalau anaknya disakiti. Apalagi sampai hampir dibunuh. Mungkin dia merasa tak ada pilihan lain,” ujar salah satu warga yang enggan disebut namanya.

Namun hukum tetaplah hukum. Terlepas dari motifnya, tindakan Fatimah tetap digolongkan sebagai pelanggaran hukum yang harus dipertanggungjawabkan. Kini, proses hukum sedang berjalan, dan nasib Fatimah berada di tangan aparat penegak hukum.

Kisah ini menjadi tamparan keras bagi masyarakat tentang pentingnya keharmonisan dan keamanan dalam rumah tangga. Perempuan, terutama seorang ibu, sering kali memendam banyak luka dalam diam. Mereka mencoba kuat demi anak, demi status sosial, bahkan demi cinta. Tapi ketika luka itu terlalu dalam dan tak ada saluran untuk mengobatinya, maka yang tersisa hanyalah amarah yang bisa berubah menjadi malapetaka.

Tragedi ini bukan hanya kisah tentang pembunuhan. Ini adalah kisah tentang rasa sakit, perlindungan seorang ibu terhadap anaknya, dan batas antara akal sehat dengan emosi yang tak terkendali.

Desa Paramasan kini menyimpan lebih dari sekadar keheningan alam. Ia menyimpan cerita pilu seorang perempuan yang terlalu lama menahan diri, hingga akhirnya memilih jalan yang tak bisa lagi diulang.

Semoga ini menjadi pengingat bagi kita semua—bahwa kekerasan dalam rumah tangga bukan persoalan sepele. Dan bahwa setiap individu, tak peduli sekuat apa pun kelihatannya, tetap butuh tempat untuk bersandar dan didengar. Jangan tunggu tragedi datang baru kita peduli.