BULAN AJARAN BARU, TAPI HATI IBU INI TERLUKA. Nur Febri Susanti, ibu dari dua anak, harus menerima kenyataan pahit: anak-anaknya tak diterima sekolah hanya karena tak mampu bayar seragam Rp2,2 juta. Uang harus ditransfer ke rekening pribadi kepala sekolah…

Bulan Ajaran Baru yang Pahit: Ketika Seragam Lebih Penting dari Pendidikan

Bagi sebagian orang tua, awal tahun ajaran baru adalah saat penuh harapan. Tapi bagi Nur Febri Susanti, seorang ibu dua anak dari keluarga sederhana, tahun ajaran kali ini justru meninggalkan luka yang dalam. Ia harus menelan pil pahit ketika kedua anaknya tidak diterima bersekolah hanya karena tak mampu membayar uang seragam sebesar Rp2,2 juta—yang ironisnya, harus ditransfer ke rekening pribadi kepala sekolah.

Mimpi Ibu, Tertahan di Pintu Sekolah

Nur Febri Susanti bukanlah sosok yang malas atau tidak peduli pendidikan. Setiap hari ia bekerja serabutan demi menyambung hidup dan menabung untuk pendidikan anak-anaknya. Ia bahkan telah mengurus semua berkas pendaftaran, mengikuti proses penerimaan, dan memastikan anak-anaknya lolos seleksi masuk di sebuah sekolah negeri di kotanya.

Namun saat tiba masa daftar ulang, ia diberi “syarat tambahan”: membayar uang seragam sebesar Rp2,2 juta. Bukan melalui koperasi sekolah, melainkan ditransfer langsung ke rekening pribadi milik kepala sekolah.

“Saya sempat kaget. Katanya kalau belum transfer, anak saya tidak bisa ikut MPLS (Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah),” tutur Nur dengan suara bergetar.

Tak Mampu Bayar, Lalu Dicoret

Karena tak memiliki uang dalam jumlah besar, Nur meminta waktu satu minggu untuk mencari pinjaman. Namun sebelum tenggat waktu yang dijanjikan, nama kedua anaknya sudah dihapus dari daftar. Saat ia datang ke sekolah untuk klarifikasi, ia hanya diberi satu kalimat: “Kami butuh yang siap.”

Tidak ada mediasi, tidak ada empati. Yang tersisa hanya dua anak kecil yang bertanya-tanya kenapa teman-temannya bisa sekolah sementara mereka harus kembali ke rumah.

Rekening Pribadi Kepala Sekolah, Ada Apa?

Yang membuat kasus ini semakin mencurigakan adalah mekanisme pembayaran. Bukannya ke rekening resmi sekolah atau koperasi, para wali murid justru diarahkan untuk mentransfer uang ke rekening atas nama pribadi kepala sekolah.

Beberapa orang tua lain yang telah membayar mengaku ragu tapi takut untuk bersuara. Mereka khawatir anak-anak mereka dipersulit jika menolak. Pola seperti ini bukan hal baru di dunia pendidikan kita, namun jarang ada yang berani membongkar.

Viral di Media Sosial, Publik Tersentak

Kisah Nur Febri Susanti akhirnya viral setelah seorang relawan pendidikan membagikannya di media sosial. Unggahan tersebut memicu reaksi keras dari masyarakat, khususnya para warganet yang geram melihat sekolah negeri yang seharusnya gratis, malah menjadi ladang pungutan liar terselubung.

“Ini sekolah atau bisnis?” tulis seorang netizen. “Jangan jadikan kemiskinan alasan untuk mencoret hak anak mendapat pendidikan,” komentar lainnya.

Pihak Sekolah Bungkam, Dinas Pendidikan Didesak Bertindak

Hingga berita ini ditulis, kepala sekolah yang bersangkutan belum memberikan keterangan resmi. Awak media yang mencoba menghubungi pun ditolak dengan alasan “urusan internal.”

Namun di sisi lain, tekanan publik membuat Dinas Pendidikan kota tersebut harus turun tangan. Kepala dinas menyatakan akan segera melakukan pemeriksaan, dan jika terbukti ada pelanggaran, akan ada sanksi tegas.

“Kami sangat menyesalkan bila benar ada pungutan di luar aturan. Apalagi menyangkut akses pendidikan anak-anak,” ucap perwakilan Dinas Pendidikan dalam pernyataan tertulis.

Ketika Pendidikan Masih Jadi Barang Mewah

Kasus ini memperlihatkan sisi kelam dari dunia pendidikan kita. Di atas kertas, pendidikan dasar dijamin negara dan disebut “gratis.” Tapi kenyataan di lapangan jauh dari ideal. Masih banyak keluarga yang kesulitan menyekolahkan anak karena biaya seragam, buku, sumbangan, dan pungutan lainnya yang dibungkus berbagai nama.

Ketika uang lebih penting dari hak anak untuk belajar, maka kita gagal sebagai bangsa.

Penutup: Harapan di Tengah Luka

Nur Febri mungkin tak punya uang Rp2,2 juta, tapi ia punya harapan besar pada masa depan anak-anaknya. Ia masih percaya bahwa ada sistem yang bisa berpihak pada rakyat kecil. “Saya cuma ingin anak saya sekolah. Itu saja,” katanya sambil memeluk kedua anaknya yang hanya bisa memandangi seragam dari balik jendela rumah.

Semoga kisah ini bukan sekadar viral sesaat, tapi menjadi pintu bagi perubahan nyata: bahwa tak boleh ada anak Indonesia yang gagal sekolah hanya karena tak mampu beli seragam. Pendidikan bukan untuk yang mampu, tapi untuk semua.