Di sebuah sudut supermarket, di tengah panas dan hiruk-pikuk kota, duduklah seorang pria mengenakan jaket aplikasi pengantaran. Ia tampak diam, seakan-akan pikirannya melayang entah ke mana. Tak ada yang menemaninya selain ponsel, sebuah tas kecil berisi dagangan… dan anaknya — seorang bayi yang terlalu tenang untuk usianya.

Pria itu adalah seorang ojol — pengemudi ojek daring sekaligus kurir pengantaran makanan. Pengorbanan seperti dirinya bukan hal baru, namun kisahnya bukan sekadar cerita lelah dan lapar di jalanan. Setiap menit menunggu pesanan baru, hatinya gelisah — bukan karena penghasilan, tetapi karena nyawa anaknya yang sedang sakit parah.

Sang anak menderita kelainan jantung berlubang. Namun, penderitaannya tak berhenti di situ. Menurut sang ayah, hati anaknya juga telah terpengaruh, dan kini kantung empedunya tersumbat. Setiap hari kondisinya makin memburuk. Sementara bayi lain tidur di tempat tidur yang nyaman, bayi ini justru ikut ayahnya bekerja — meski dalam kondisi sakit.

Tak ada orang lain yang bisa merawat anak itu. Maka meski ia tahu betapa rentannya kondisi anaknya, ia tetap membawanya ke jalanan, sambil berharap ada pesanan masuk. Sambil berharap ada yang membeli sayur-sayuran dagangannya yang ia bawa demi penghasilan tambahan. Sambil berharap ada hati yang tergerak untuk peduli.

Ia tak lagi tahu ke mana harus meminta bantuan. Katanya, operasi harus dilakukan di rumah sakit di Jakarta — dan biayanya sangat besar. Ia telah berkali-kali mencoba mengumpulkan uang, bahkan dengan menjajakan sayuran dari satu sudut ke sudut lainnya. Tapi tetap belum cukup. Ada hari-hari tanpa satu pun pesanan masuk, kadang satu atau dua — hanya cukup untuk membeli susu dan obat anaknya.

Tak ada kepastian dalam setiap harinya. Ada waktu di mana ia pulang tanpa sepeser pun. Namun ia terus berjuang. Ia tidak menyerah pada harapan. Ia tidak menyerah pada anaknya.

Ia tidak meminta belas kasihan. Ia hanya menunjukkan kenyataan. Ia bahkan menunjukkan ponselnya kepada beberapa orang — tak ada satu pun pesanan yang masuk. Ia tunjukkan juga kuitansi rumah sakit, dokumen medis anaknya, dan secuil harapan bahwa mungkin masih ada orang yang berhati baik.

Di mata kebanyakan orang, ia mungkin hanya seorang pengemudi pengantar tanpa pesanan. Tapi di balik seragam sederhana itu, ada seorang ayah yang putus asa, berani, dan penuh kasih.

Kisah seperti ini jarang terdengar. Kita sering lewat begitu saja di depan orang-orang yang duduk di trotoar, tanpa tahu beban hidup yang mereka pikul. Namun kali ini, semoga pesan ini sampai: ada orang-orang yang tak meminta-minta, hanya mengharapkan sebuah kesempatan.

Seorang ayah yang rela mengorbankan segalanya untuk anaknya. Seorang anak yang satu-satunya “kesalahan” adalah terlahir dalam kondisi sakit. Sebuah perjuangan yang seharusnya tidak mereka lalui sendirian.