Setiap sore, saat anak-anak lain riuh bermain di lapangan atau bersantai di rumah dengan seragam sekolah yang sudah dilipat rapi, Fardan justru memulai pekerjaannya. Di usia yang baru menginjak belasan tahun, bocah ini memanggul sebuah kotak semir tua di pundaknya dan melangkah menyusuri trotoar kota. Bukan untuk iseng atau coba-coba. Tapi demi sesuatu yang jauh lebih besar: menghidupi orang tuanya yang tengah terbaring lemah akibat stroke.

Fardan tak lagi mengenal apa itu masa kecil yang bebas dan ceria. Sejak kedua orang tuanya mengalami kelumpuhan, tanggung jawab itu seolah langsung jatuh di bahunya. Ia tahu, tak ada waktu untuk mengeluh atau berharap keajaiban datang begitu saja. Maka sejak saat itu, sepulang sekolah, ia berjalan dari satu sudut ke sudut lainnya menawarkan jasa semir sepatu. Hanya dua ribu rupiah ia dibayar untuk setiap pasang sepatu yang berhasil ia kilapkan. Jika beruntung, ia bisa membawa pulang dua puluh ribu rupiah. Tapi tak jarang juga, ia pulang hanya dengan lelah dan debu di wajah.

Anak seusia Fardan seharusnya duduk nyaman di ruang kelas, memikirkan soal ulangan atau pelajaran olahraga. Tapi realitas tak memberi dia kemewahan itu. Kehidupan menuntutnya untuk tumbuh dewasa lebih cepat. Ia tak pernah merengek atau menyalahkan siapa pun. Bahkan di balik senyum kecilnya yang sederhana, tersimpan kekuatan luar biasa.

Saat ditanya apa cita-citanya, Fardan menjawab tanpa ragu:
“Aku ingin jadi tentara. Supaya bisa melindungi orang-orang, terutama Ayah dan Ibu.”

Jawaban itu bukan sekadar angan anak kecil. Di mata Fardan, TNI bukan hanya lambang kekuatan, tapi juga simbol harapan dan keberanian. Ia ingin menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari dirinya, sesuatu yang mampu mengangkat derajat dan harga dirinya—dan juga keluarganya.

Banyak yang melihat Fardan dan hanya melihat seorang tukang semir. Tapi jika mereka mau menengok sedikit lebih dalam, mereka akan melihat seorang pejuang kecil. Seorang anak yang setiap hari melawan rasa lelah, lapar, dan kadang juga ejekan, demi tetap bisa bertahan dan mengejar mimpinya.

Tak ada fasilitas mewah, tak ada bantuan dari pemerintah, dan tak ada jaring pengaman sosial yang menyentuh kehidupannya. Tapi Fardan tetap melangkah. Karena bagi dia, berhenti berarti menyerah. Dan itu bukan pilihan.

Setiap sepatu yang ia semir, bukan hanya untuk uang. Tapi juga sebagai simbol kerja kerasnya. Setiap kilau pada kulit sepatu orang lain, adalah pantulan semangatnya yang tak kunjung padam. Ia percaya, selama ia terus berusaha, mimpinya untuk mengenakan seragam loreng itu suatu hari akan menjadi nyata.

Fardan adalah wajah dari ribuan anak Indonesia yang terpaksa menukar masa kecil mereka dengan tanggung jawab. Tapi di balik keterbatasan mereka, ada nyala tekad yang mungkin tak dimiliki oleh anak-anak lain yang hidup dalam kenyamanan.

Mungkin hari ini Fardan hanya tukang semir. Tapi siapa tahu, beberapa tahun lagi, kita akan melihatnya berdiri gagah dengan seragam TNI, membawa nama keluarganya—dan mimpinya—menuju kehidupan yang lebih baik.