Sebuah Pagi yang Biasa di Sudut Kota

Di sebuah sudut jalan di kota kecil bernama Cisarua, Jawa Barat, setiap pagi ada pemandangan yang mulai akrab bagi para warga. Seorang sopir angkot bernama Pak Wardi selalu tampak menghentikan kendaraannya di titik yang sama. Bukan karena macet atau menurunkan penumpang, melainkan karena ada seorang anak kecil bernama Rafi yang sudah menunggunya di pinggir jalan.

Rafi adalah anak yatim yang telah kehilangan ayahnya sejak usia 4 tahun. Ibunya hanya bekerja serabutan, kadang membantu di warung, kadang mencuci pakaian warga sekitar. Kehidupan mereka sederhana, bahkan bisa dikatakan serba kekurangan. Tapi sejak dua tahun lalu, Rafi selalu menanti angkot nomor 07 yang dikemudikan Pak Wardi.

Pertemuan yang Mengubah Hidup

Kisah ini bermula ketika Pak Wardi pertama kali melihat Rafi duduk sendirian di pinggir jalan dengan pakaian lusuh dan wajah yang tampak kelaparan. Tanpa banyak bicara, ia berhenti, turun dari angkot, dan memberikan sepotong roti serta sebotol air mineral. Sejak saat itu, setiap kali melintas di jalur yang sama, Pak Wardi selalu berhenti dan memberikan sesuatu: kadang makanan, kadang uang jajan, kadang hanya senyuman dan doa.

Ternyata, bagi Pak Wardi, berbagi bukan hal baru. Ia tumbuh dalam keluarga miskin, dan pernah merasakan bagaimana rasanya berharap pada kebaikan orang asing. Ia ingat betul saat kecil, hanya bisa makan dari pemberian tetangga. Karena itulah, kini ketika ia telah memiliki penghasilan tetap sebagai sopir angkot, ia bertekad untuk selalu menyisihkan sebagian rezekinya untuk mereka yang membutuhkan.

 

Mungkin gambar 2 orang, kukang dan teks yang menyatakan 'BOCAH YATIM INI SELALU MENUNGGU SEORANG SOPIR LEWAT, TERNYATA SOPIR TERSEBUT SERING BERI UANG JAJAN'

 

Lebih dari Sekadar Memberi

Bagi warga sekitar, apa yang dilakukan Pak Wardi bukan hanya bentuk kepedulian biasa. Ia bukan hanya memberi karena kasihan, tapi benar-benar membangun hubungan emosional dengan anak-anak yang ia bantu, khususnya Rafi. Setiap kali Rafi berulang tahun, meski sederhana, Pak Wardi akan membawakannya nasi kuning dan kue kecil. Saat Rafi sakit, ia tak segan menghentikan narik untuk mengantar sang anak ke puskesmas.

“Saya bukan orang kaya. Tapi saya percaya, kalau kita tulus memberi, Tuhan akan mencukupkan kita,” ujar Pak Wardi dengan mata berkaca-kaca.

Hubungan mereka pun tak lagi sekadar antara sopir dan anak yatim. Rafi kini memanggil Pak Wardi dengan sebutan “Abah”. Ia merasa mendapat figur ayah yang selama ini hilang dari hidupnya.

Pengorbanan yang Tak Terlihat

Yang tak diketahui banyak orang, Pak Wardi sendiri hidup pas-pasan. Ia tinggal di rumah kontrakan sempit bersama istri dan dua anaknya yang masih sekolah. Penghasilannya dari mengemudikan angkot tak menentu, kadang cukup, sering kali kurang. Namun, ia tetap menyisihkan sedikit dari setiap setoran harian untuk anak-anak yatim di sekitar rutenya.

“Saya percaya, sebagian dari rezeki kita memang bukan milik kita. Ada hak orang lain di dalamnya,” katanya.

Sikap Pak Wardi pun membuat para penumpang angkotnya merasa hangat. Banyak yang kemudian ikut memberikan uang jajan tambahan saat melihat Rafi atau anak-anak lain yang diberi bantuan olehnya. Bahkan, ada beberapa penumpang yang akhirnya membantu biaya sekolah Rafi secara rutin.

Keteladanan yang Menular

Kisah Pak Wardi menyebar secara organik dari mulut ke mulut, dan suatu ketika, seorang penumpang yang juga jurnalis lokal menuliskannya di media komunitas. Tak disangka, tulisan itu viral. Banyak orang yang kemudian datang ingin bertemu langsung dengan Pak Wardi. Mereka bukan hanya ingin berfoto atau bersalaman, tapi banyak yang tergerak ingin membantu.

Beberapa lembaga sosial bahkan menghubungi Pak Wardi untuk mengajaknya berkolaborasi dalam kegiatan rutin membantu anak-anak kurang mampu di wilayah Cisarua. Namun, dengan rendah hati, Pak Wardi selalu berkata, “Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya ingin jadi manusia yang berguna, walau sedikit.”

Rafi dan Mimpinya

Kini, Rafi yang sudah duduk di bangku kelas 5 SD, memiliki semangat belajar yang tinggi. Ia bercita-cita menjadi guru, agar bisa membagi ilmu kepada anak-anak miskin seperti dirinya. Dalam setiap tugas sekolah, ia selalu menyebut nama Pak Wardi sebagai inspirasinya.

Bagi Rafi, Pak Wardi bukan hanya penyelamat, tapi juga cahaya kecil dalam hidupnya yang penuh keterbatasan. “Kalau tidak ada Abah Wardi, mungkin aku tidak bisa sekolah terus,” kata Rafi suatu hari saat diwawancarai di acara sekolah.

Harapan di Tengah Keterbatasan

Kisah Pak Wardi dan Rafi menjadi pengingat bahwa kasih sayang dan kepedulian tidak memerlukan kekayaan atau jabatan tinggi. Kadang, yang dibutuhkan hanyalah niat dan keberanian untuk berbagi, walau dari yang sedikit.

Dalam dunia yang semakin sibuk dan individualistik, tindakan kecil seperti yang dilakukan Pak Wardi menjadi sangat berarti. Ia bukan pejabat, bukan selebritas, bukan pengusaha, namun namanya kini dikenal sebagai sosok teladan yang mengajarkan nilai kemanusiaan sejati.

Penutup: Pelajaran dari Jalanan

Dari balik kemudi angkot, Pak Wardi menunjukkan bahwa setiap orang bisa menjadi agen perubahan. Ia tidak menunggu kaya untuk memberi, tidak menunggu terkenal untuk membantu. Cukup dengan berhenti sebentar, membuka jendela, dan menyapa seorang anak yang membutuhkan, ia telah membuat dunia ini sedikit lebih baik.

Pak Wardi dan Rafi, dua nama sederhana yang menyimpan kisah luar biasa. Kisah yang seharusnya kita baca bukan hanya dengan mata, tapi juga dengan hati. Karena mungkin, di antara deru mesin dan hiruk pikuk kota, masih ada cinta yang tumbuh dalam diam, dan harapan yang bertahan lewat tangan-tangan kecil yang menggenggam rezeki dari seorang sopir angkot.