Tahun ajaran baru seharusnya menjadi awal penuh semangat dan harapan bagi setiap keluarga, terlebih bagi para orang tua yang menyekolahkan anak-anaknya untuk mengejar masa depan yang lebih baik. Namun tidak demikian bagi Nur Febri Susanti, seorang ibu berusia 38 tahun yang tinggal di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. Harapannya untuk melihat dua buah hatinya menjalani pendidikan yang layak justru harus kandas karena persoalan yang sangat ironis—biaya seragam sekolah.

Nur baru saja memindahkan dua anaknya dari Jakarta ke SD Negeri Ciledug Barat, Pamulang. Anak pertamanya masuk kelas lima, sedangkan anak keduanya masuk kelas dua. Sebuah langkah baru yang seharusnya membahagiakan malah menjadi luka yang dalam. Pada tanggal 11 Juli 2025, Nur menerima rincian biaya seragam dari pihak sekolah yang mencapai Rp1,1 juta per anak. Totalnya, ia harus membayar Rp2,2 juta.

“Waktu kepala sekolah bilang biayanya Rp1,1 juta per anak untuk baju batik, baju muslim, olahraga, dan buku paket, saya benar-benar kaget,” ungkap Nur dengan nada getir saat diwawancarai pada 16 Juli 2025.

Mungkin gambar ‎5 orang dan ‎teks yang menyatakan '‎بل MSU TOPI SABLON Ibu di Pamulang tak Bisa Beli Seragam 2,2 Juta Ditransfer ke Kepsek, Anak Tiba-tiba Tak Diterima‎'‎‎

Sebagai ibu yang hanya hidup dari penghasilan harian yang tidak menentu, angka itu bukan sekadar angka—melainkan penghalang nyata yang menghalangi masa depan anak-anaknya. Nur kemudian mencoba mencari solusi. Ia bertanya kepada pihak sekolah, apakah mungkin untuk mencicil. Tapi jawaban yang ia terima justru menambah luka.

“Kalau bisa jangan dicicil, kasihan anaknya nanti beda sendiri dari teman-temannya,” begitu jawaban dari pihak sekolah yang diterima Nur.

Jawaban itu tidak hanya menolak solusi yang manusiawi, tapi juga memberikan tekanan emosional—seolah-olah ketidakmampuan membayar membuat anak-anaknya tidak layak untuk mendapatkan perlakuan yang sama seperti teman-teman mereka.

Yang lebih mengejutkan lagi, Nur mengaku bahwa pembayaran uang seragam tersebut harus ditransfer langsung ke rekening pribadi milik kepala sekolah. Praktik semacam ini menimbulkan banyak pertanyaan—baik dari segi transparansi, legalitas, maupun etika profesional seorang pendidik.

Ketimpangan yang Masih Nyata
Kisah Nur bukan hanya tentang seragam sekolah. Ini adalah potret buram ketimpangan pendidikan di negeri ini. Di saat negara terus menggaungkan pendidikan gratis dan wajib belajar 12 tahun, kenyataannya banyak anak-anak Indonesia yang justru terhalang masuk sekolah hanya karena tak mampu membayar biaya-biaya tersembunyi seperti seragam, buku, dan iuran lainnya.

Dalam kasus Nur, bisa dibayangkan tekanan yang ia hadapi. Antara rasa malu, rasa bersalah kepada anak-anaknya, dan ketidakberdayaan menghadapi sistem yang seharusnya memberikan solusi, bukan mempersulit.

“Saya cuma ingin anak-anak saya sekolah. Saya tidak minta gratis, saya cuma minta diberi keringanan. Tapi malah disuruh bayar penuh sekaligus, itu pun ke rekening pribadi kepala sekolah,” lanjut Nur.

Anak-Anak yang Menanggung Beban Orang Dewasa
Yang lebih menyedihkan, adalah dampak psikologis kepada anak-anak. Mereka yang seharusnya semangat menjalani tahun ajaran baru, justru harus menelan pil pahit karena orang tua mereka tidak mampu membayar. Mereka mungkin merasa rendah diri, berbeda, bahkan tidak layak.

Tak sedikit anak-anak yang pada akhirnya kehilangan semangat belajar karena tekanan ekonomi seperti ini. Pendidikan seharusnya menjadi hak, bukan barang mewah yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu.

Di Mana Peran Pemerintah dan Sekolah?
Pertanyaan besar pun muncul: di mana peran Dinas Pendidikan? Di mana pengawasan terhadap praktik pungutan liar semacam ini? Jika memang seragam itu diwajibkan, seharusnya ada mekanisme bantuan bagi keluarga yang kurang mampu. Jika tidak, maka seharusnya sekolah memberikan alternatif yang tidak diskriminatif.

Masih banyak sekolah di Indonesia yang mengaku “negeri” tapi pada kenyataannya memberlakukan sistem seperti sekolah swasta dengan pungutan yang tinggi. Jika pengelolaan keuangan sekolah tidak dilakukan secara transparan, maka yang dirugikan adalah masyarakat—khususnya kalangan ekonomi lemah.

Saatnya Berubah: Pendidikan untuk Semua, Bukan untuk Segelintir
Kisah Nur Febri Susanti seharusnya menjadi alarm keras bagi seluruh pihak terkait. Pendidikan bukan sekadar tentang angka kelulusan atau akreditasi sekolah, tapi tentang keadilan akses untuk semua anak bangsa. Seragam memang bisa menyamakan tampilan, tapi bukan alasan untuk menghalangi akses pendidikan.

Sudah saatnya sistem pendidikan kita benar-benar berpihak kepada rakyat. Jika kita ingin generasi yang cerdas, maka mulailah dari memberikan kesempatan yang adil untuk semua, tanpa diskriminasi berdasarkan isi dompet orang tua.

Semoga suara Nur didengar. Semoga anak-anaknya tetap bisa sekolah. Dan semoga tidak ada lagi anak Indonesia yang ditolak sekolah hanya karena tidak mampu membeli seragam.