Dunia internasional kembali diguncang oleh kabar mencengangkan dari Iran. Dua ulama senior paling berpengaruh di negara itu, Ayatollah Agung Naser Makarem Shirazi dan Ayatollah Noori Hamedani, mengeluarkan sebuah fatwa kontroversial yang menyerukan p3mbvnvhan Presiden Amerika Serikat saat itu, Donald Trump, dan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.

Fatwa tersebut bukan hanya menimbulkan kegemparan di kalangan masyarakat global, tetapi juga membuka perdebatan besar soal batas antara agama, politik, dan kekerasan yang dibenarkan atas nama ideologi. Seruan ini muncul sebagai tanggapan terhadap memanasnya hubungan geopolitik yang dianggap oleh Iran sebagai bentuk ancaman langsung terhadap keamanan dan kedaulatan negara mereka.

Namun, yang membuat situasi ini makin mengejutkan adalah dukungan terbuka dari ulama Iran lainnya, Mansour Emami, yang menjabat sebagai Direktur Organisasi Dakwah Islam Provinsi Azerbaijan Barat. Dalam pidato berbahasa Azeri yang disampaikan di hadapan publik, Emami menyatakan kesediaannya memberikan hadiah sebesar 100 miliar Tomans, atau sekitar Rp 18,5 miliar, kepada siapa pun yang mampu membawa kepala Donald Trump.

Mungkin gambar 3 orang dan teks yang menyatakan 'Ulama Iran Buka Sayembara 18,5 Miliar Untuk Siapa Saja Yang Bisa Membawa K3p4a Donald Trump dan Nenyatahu. NEWS'

Pernyataan ini bukan hanya sekadar retorika panas. Situs Iran yang dikenal dengan nama thaar.ir bahkan turut menggalang dana publik untuk mendukung misi yang mereka sebut sebagai “balas dendam untuk kehormatan umat.” Klaim dari situs tersebut menyebutkan bahwa mereka telah berhasil mengumpulkan lebih dari US$ 20 juta dari para donatur yang mendukung seruan tersebut. Namun hingga kini, angka tersebut belum dapat diverifikasi secara resmi oleh lembaga manapun.

Sontak, kabar ini menyebar luas ke seluruh dunia dan menuai berbagai respons, mulai dari kecaman tajam hingga kekhawatiran serius tentang potensi eskalasi kekerasan baru di Timur Tengah. Banyak pengamat internasional menyatakan bahwa fatwa semacam ini berpotensi menyalakan kembali api konflik global yang sudah lama membara, khususnya antara Iran, Amerika Serikat, dan Israel.

Pemerintah Iran sendiri belum secara resmi menanggapi secara terbuka soal apakah fatwa dan hadiah uang tersebut didukung oleh negara atau murni inisiatif individu dan kelompok keagamaan. Namun, di tengah situasi politik yang rapuh dan hubungan diplomatik yang penuh ketegangan, ketidakjelasan posisi pemerintah justru memperkeruh suasana.

Bagi masyarakat internasional, kabar ini memunculkan pertanyaan besar: sampai di mana batas antara kebebasan berpendapat dan seruan kekerasan? Apakah fatwa keagamaan bisa dijadikan pembenaran untuk tindakan ekstrem yang mengancam nyawa orang lain? Dan bagaimana komunitas global harus merespons isu ini tanpa memperkeruh sentimen agama atau menambah bara konflik antarbangsa?

Di sisi lain, tidak sedikit pula masyarakat yang mempertanyakan bagaimana bisa sebuah situs publik menggalang dana dengan tujuan yang jelas-jelas mengarah pada tindakan kekerasan terhadap kepala negara lain—dan bisa mengumpulkan dana dalam jumlah yang begitu besar. Apakah hal ini legal? Etis? Atau justru mencerminkan bagaimana kemarahan kolektif bisa berubah menjadi kekuatan yang nyata jika diarahkan dengan narasi tertentu?

Masyarakat Indonesia yang membaca kabar ini pun terbagi. Ada yang mengecam keras seruan kekerasan semacam ini, menganggapnya sebagai tindakan yang tidak beradab dan tidak mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan. Namun ada juga yang, walau tidak menyetujui kekerasan, memahami kemarahan yang mendasari sikap ekstrem tersebut.

Yang jelas, berita ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa dunia sedang berada dalam masa-masa yang penuh ketegangan. Kata-kata, terutama yang keluar dari mulut tokoh berpengaruh, punya kekuatan luar biasa. Bisa menggerakkan massa, bisa membakar semangat, tetapi juga bisa menimbulkan kehancuran.

Kini, mata dunia tertuju pada Iran. Akankah pemerintah mengambil langkah tegas untuk menanggapi seruan ini? Atau justru membiarkan fatwa dan hadiah bernilai miliaran itu menjadi alat provokasi yang terus menekan titik-titik sensitif di geopolitik dunia?

Satu hal yang pasti—dunia tidak bisa lagi menutup mata terhadap cara ekstrem yang bisa muncul dari kemarahan, ketakutan, dan ambisi. Apapun keyakinan kita, kekerasan bukanlah jalan keluar. Dan fatwa yang mengarah pada p3mbvnvhan tokoh publik adalah peringatan yang harus ditanggapi dengan kepala dingin, bukan api amarah.