Awal yang Penuh Penolakan
Tak ada yang menyangka bahwa seorang remaja asal Bandung bernama Fathan Rizqullah akan menjadi sorotan dunia teknologi di usia yang sangat muda. Di balik pencapaian luar biasa itu, tersimpan kisah perjuangan yang tak kalah luar biasa. Sebelas kali penelitiannya ditolak oleh pihak Google di Indonesia, Fathan nyaris menyerah. Namun ia terus mencoba, mengembangkan idenya, dan memperbaiki setiap kesalahan.
Fathan adalah sosok yang tak mudah menyerah. Sejak duduk di bangku SMA, ia sudah tertarik dengan dunia kecerdasan buatan (AI). Ia menghabiskan waktunya di perpustakaan, forum daring, dan bahkan belajar coding secara otodidak. Ia punya mimpi besar: menciptakan sebuah sistem AI yang bisa membantu pendidikan anak-anak di daerah terpencil.
Dengan semangat yang menggebu, ia mengirimkan proposal dan risetnya ke berbagai kompetisi dan program dukungan teknologi, termasuk ke Google for Startups Indonesia. Sayangnya, semua ditolak. Alasannya selalu sama: “belum layak dikembangkan”, “kurang matang”, atau “tidak sesuai dengan prioritas saat ini”.
Undangan Tak Terduga dari Google
Setelah penolakan yang ke-11, Fathan sempat berpikir untuk menyerah. Namun di saat itulah takdir seakan membalik arah. Suatu pagi, ia menerima email dari Google — bukan dari kantor Indonesia, melainkan langsung dari kantor pusat mereka di Mountain View, California. Dalam email tersebut, Google mengundangnya untuk mempresentasikan idenya dalam acara internal inkubasi teknologi muda.
Awalnya Fathan mengira itu spam. Namun setelah dicek, email tersebut sah. Ia sempat terpaku di depan layar selama beberapa menit. “Saya tidak percaya, setelah semua penolakan itu, mereka justru mengundang saya langsung ke Amerika,” kenangnya.
Dengan bantuan dari komunitas teknologi lokal dan beberapa sponsor pendidikan, Fathan akhirnya berangkat ke Amerika Serikat. Ia berdiri di depan puluhan engineer dan eksekutif Google, menyampaikan idenya yang dulu dianggap tidak layak. Tapi kali ini, audiensnya terpukau.
Lahirnya Startup AI Pertama
Setelah pulang ke Indonesia, Fathan membawa semangat baru. Ia mulai membentuk tim kecil yang terdiri dari teman-teman sesama pelajar dan mahasiswa. Dari ruang tamu rumah orang tuanya, ia mendirikan sebuah startup bernama EduNexAI — sebuah platform berbasis AI yang membantu personalisasi proses belajar untuk siswa di daerah yang minim akses pendidikan.
Dalam waktu kurang dari setahun, EduNexAI menarik perhatian investor lokal dan regional. Platform ini berhasil digunakan di beberapa daerah di Sulawesi, Kalimantan, dan NTT. Fathan tak hanya menciptakan teknologi, ia menciptakan dampak sosial yang nyata.
Yang mengejutkan, startup-nya juga menarik minat dari beberapa perusahaan teknologi besar, termasuk Google, yang kini menjadi salah satu partner resmi pengembangan.
Simbol Generasi Muda yang Tak Menyerah
Kesuksesan Fathan bukan hanya soal teknologi. Ia menjadi simbol generasi muda Indonesia yang penuh daya juang. Di usia 18 tahun, ia sudah menjadi CEO dan pemimpin tim teknologi lintas negara. Ia juga aktif mengisi berbagai forum pendidikan, seminar pemuda, dan menjadi mentor bagi pelajar-pelajar SMA yang ingin menekuni dunia teknologi.
“Saya ingin anak-anak Indonesia percaya bahwa mereka bisa. Kita tidak perlu selalu sekolah di luar negeri untuk sukses. Asal ada niat, konsistensi, dan keberanian untuk gagal, peluang itu pasti datang,” ujarnya dalam sebuah wawancara.
Kisah Fathan kini menjadi inspirasi bagi banyak orang. Tak sedikit orang tua yang mendorong anaknya untuk belajar teknologi setelah mendengar kisah ini. Ia bahkan sempat disebut sebagai “Elon Musk-nya Indonesia” oleh salah satu media lokal.
Menjadi Pemimpin, Bukan Sekadar Pembuat Kode
Walaupun jago dalam hal teknis, Fathan menyadari bahwa menjadi pemimpin berarti lebih dari sekadar bisa coding. Ia belajar membangun tim, mendengarkan, mengelola konflik, dan membangun visi bersama. Ia juga rajin mengikuti pelatihan kepemimpinan dan membaca buku manajemen.
“Saya masih belajar. Tapi saya percaya, kalau kita ingin membuat perubahan besar, kita tidak bisa jalan sendiri,” katanya.
Fathan kini fokus untuk mengembangkan EduNexAI agar bisa menjangkau lebih banyak siswa di Asia Tenggara. Ia juga tengah menyiapkan fitur AI baru yang bisa menyesuaikan metode belajar dengan kondisi psikologis dan lingkungan anak.
Masa Depan yang Menjanjikan
Apa selanjutnya bagi Fathan? Ketika ditanya apakah ia akan menjual startup-nya ke perusahaan besar, ia hanya tersenyum. “Saya masih ingin lihat sejauh mana ini bisa berkembang. Bagi saya, tujuan utama bukan sekadar valuasi tinggi, tapi seberapa besar dampak yang bisa kita buat.”
Dengan semangat, ketekunan, dan mimpi besar, Fathan telah membuktikan bahwa penolakan bukanlah akhir. Justru dari kegagalan itulah lahir jalan menuju kesuksesan sejati.
News
The Silent Signal That Changed Everything: How One Brave Girl Found a Family Through a Gesture
It was a typical sunny Sunday afternoon at a busy supermarket in Vila Esperança, a working-class neighborhood on the…
O Amor Nunca Parte: Maria Alice Comove Virgínia ao Revelar Recado do Vovô Mário do ‘Outro Lado’
Na mansão silenciosa de Goiânia, onde as lembranças pesam tanto quanto o ar nos corredores amplos, um momento de…
Virgínia leva as filhas a parque aquático de luxo em Dubai e diverte seguidores com rotina inusitada, mimos caríssimos e momentos de família
A influenciadora Virgínia Fonseca surpreendeu mais uma vez ao compartilhar com seus milhões de seguidores uma experiência cheia de…
Maria Flor emociona com mensagem para Zé Felipe enquanto Poliana enfrenta batalha silenciosa contra a dor
Num momento em que a vida pública e os bastidores se misturam intensamente, a família de Zé Felipe e…
Prisão, polêmicas e influência tóxica: a internet explode com escândalos envolvendo Hytalo Santos, Bia Miranda e até Virgínia Fonseca
O que era para ser apenas mais uma semana movimentada nas redes sociais se transformou num verdadeiro furacão de…
The Son of Lucero Uncovers a 19-Year-Old Family Secret That Changes Everything
For nearly two decades, José Manuel Mijares Ogaza believed he knew the full story of his family. Yet, a…
End of content
No more pages to load