Di tengah maraknya kekerasan di lingkungan sekolah, kisah tentang seorang guru bernama Zaharman dari Rejang Lebong, Bengkulu, menjadi sorotan dan sumber inspirasi bagi banyak orang. Ia bukan hanya seorang pendidik, tapi juga sosok pejuang sejati yang memilih untuk terus berdiri meskipun dihantam cobaan yang begitu menyakitkan.

Zaharman adalah guru olahraga di SMA Negeri 7 Rejang Lebong. Dalam dunia pendidikan yang penuh tantangan, nama Zaharman kini tercatat sebagai penerima penghargaan “Guru Menginspirasi” dalam peringatan Hari Disabilitas Internasional 2024. Namun, di balik penghargaan tersebut, ada kisah panjang tentang keteguhan hati, kesabaran, dan pengabdian yang tak ternilai.

Selama lebih dari tiga dekade—tepatnya 33 tahun—Zaharman telah mengabdikan dirinya mengajar di wilayah terpencil. Ia membina generasi demi generasi di tempat yang mungkin terabaikan oleh kemajuan zaman, tapi tidak oleh semangatnya. Namun, segalanya berubah pada 1 Agustus 2023—sebuah hari yang akan selalu ia kenang.

 

 

Saat itu, Zaharman hanya melakukan apa yang menurutnya benar sebagai seorang guru: menegur siswa yang tertangkap basah sedang merokok di lingkungan sekolah. Sebuah tindakan yang tentu saja bertujuan mendidik, bukan menghukum. Tapi siapa sangka, tindakan itu justru berujung petaka.

Orang tua siswa tersebut ternyata tidak terima anaknya ditegur. Dalam kemarahan yang membabi buta, ia menyerang Zaharman dengan ketapel. Serangan itu mengarah ke wajahnya dan mengenai mata kanan—mengakibatkan kebutaan permanen.

Hari-hari setelah kejadian itu bukan hanya penuh rasa sakit fisik, tapi juga emosional. Tidak mudah menerima kenyataan bahwa dedikasi bertahun-tahun sebagai guru dibalas dengan kekerasan dari pihak yang seharusnya mendukung pendidikan. Tapi, alih-alih berhenti dan meratapi nasib, Zaharman memilih bangkit.

Mengajar dengan Satu Mata, Tapi Tak Kehilangan Pandangan
Mata kanan Zaharman memang tak lagi berfungsi. Tapi ia tak membiarkan itu menjadi alasan untuk meninggalkan kelas. Dalam keterbatasannya, ia tetap berdiri di lapangan, mengajar olahraga kepada para murid dengan penuh semangat.

“Saya tidak bisa melihat dengan sempurna, tapi saya masih bisa merasakan semangat anak-anak. Selama itu ada, saya tetap akan mengajar,” ujar Zaharman dalam salah satu wawancara.

Baginya, mendidik adalah panggilan jiwa. Meski tubuhnya terluka, jiwanya tetap utuh. Ia tidak pernah menuntut balas, tidak pula menaruh dendam. Justru ia semakin yakin bahwa pendidikan adalah jalan terbaik untuk mengubah perilaku dan masa depan generasi muda.

Penerimaan dan Dukungan Publik
Kisah Zaharman pun menyebar luas dan menyentuh hati banyak orang. Dukungan datang dari berbagai pihak—guru, siswa, aktivis pendidikan, hingga masyarakat umum. Banyak yang mengaku terharu dan bangga pada keteguhan hati sang guru.

Tak sedikit pula yang mengecam tindakan kekerasan terhadap guru, dan menuntut adanya perlindungan lebih kuat bagi tenaga pendidik di Indonesia. Zaharman menjadi simbol bahwa guru bukan hanya pengajar di kelas, tapi juga pejuang kehidupan.

Kementerian Pendidikan pun turut memberikan apresiasi atas keteguhan Zaharman. Ia menjadi salah satu figur yang menginspirasi pada peringatan Hari Disabilitas Internasional 2024, sebagai wujud penghargaan atas keteguhan dan komitmen luar biasanya.

Realita Pahit Dunia Pendidikan
Namun kisah Zaharman juga membuka mata kita pada realita pahit di balik tembok sekolah. Ketika guru yang berusaha mendisiplinkan siswa justru diserang oleh orang tua murid, maka ada sesuatu yang sangat salah dalam pemahaman kita tentang pendidikan.

Pendidikan bukan hanya soal kurikulum dan nilai rapor. Ia adalah kerja sama antara sekolah, orang tua, dan masyarakat. Ketika salah satu pihak—terutama orang tua—gagal memahami perannya, maka guru-lah yang paling rentan menjadi korban.

Kasus Zaharman bukan satu-satunya. Di berbagai daerah, masih banyak guru yang mengalami intimidasi, tekanan, bahkan kekerasan fisik. Namun sebagian besar memilih diam, karena khawatir kehilangan pekerjaan atau tidak mendapat dukungan.

Harapan untuk Masa Depan yang Lebih Aman bagi Guru
Kisah Zaharman harus menjadi pemicu perubahan. Pemerintah harus memberikan perlindungan hukum yang jelas dan tegas bagi tenaga pendidik. Sekolah harus menjadi tempat yang aman, tidak hanya bagi siswa, tapi juga bagi para guru yang mengabdi dengan tulus.

Sudah saatnya masyarakat juga mengubah cara pandangnya terhadap guru. Guru bukan pelayan orang tua murid. Guru adalah mitra orang tua dalam membentuk karakter dan masa depan anak-anak.

Jika kita ingin generasi muda yang cerdas, berakhlak, dan penuh integritas, maka hormatilah gurunya. Jangan biarkan mereka berjalan sendiri dalam perjuangan panjang mencerdaskan bangsa.

Zaharman, Guru dengan Satu Mata dan Seribu Cahaya Inspirasi
Kini, dengan satu mata yang masih berfungsi, Zaharman tetap menyinari langkah-langkah para muridnya. Ia bukan hanya mengajarkan gerakan olahraga, tapi juga keteguhan hati, kesabaran, dan arti pengabdian sejati.

Mungkin ia telah kehilangan pandangan di satu sisi, tapi dari sisi lainnya, ia justru melihat lebih jauh—melihat harapan, masa depan, dan kesempatan yang lebih baik bagi murid-muridnya.

Zaharman bukan hanya guru biasa. Ia adalah pahlawan dalam senyap. Ia adalah contoh nyata bahwa mengajar bukan hanya soal penglihatan, tapi tentang visi.