Pernahkah kamu melihat sebuah warung kelontong kecil di sudut kota yang tampak sederhana, dijaga oleh seorang pria tua bersendal jepit, bercelana pendek dan mengenakan kaos lusuh—namun setiap minggu rutin setor puluhan juta rupiah ke distributor? Atau restoran Chinese food yang dikelola oleh keluarga, tak pernah sepi pengunjung, padahal bangunannya biasa saja? Dari luar tampak biasa, tapi siapa sangka mereka sudah beli dua ruko dan tanah di belakang pasar?

Ini bukan dongeng. Ini adalah kisah nyata. Dan inilah salah satu cerminan dari filosofi kekayaan lintas generasi yang dijaga erat oleh masyarakat Tionghoa.

Bukan Ajang Pamer, Tapi Membangun Pondasi

Orang Tionghoa punya prinsip hidup yang seringkali berbanding terbalik dengan gaya hidup masyarakat kita. Ketika sebagian dari kita baru dapat bonus kerja langsung buka aplikasi marketplace, mereka justru mencatat hasil penjualan dan menghitung biaya operasional.

Bagi mereka, bisnis bukan tempat mencari pengakuan, tapi pondasi kehidupan. Ada pepatah Tionghoa yang berbunyi, “Qiong yang shengyi, tu yang jizid”, artinya: bisnis dijaga dalam kesederhanaan, kekayaan pribadi akan menyusul kemudian.

Jadi, tak heran jika banyak dari mereka tetap naik motor bebek tua selama bertahun-tahun, asalkan usaha bisa buka cabang. Sementara kita seringkali ingin mobil baru lebih dulu, padahal bisnis belum stabil.

 

Mungkin gambar 2 orang dan teks yang menyatakan 'Orang China Bisa Kaya Lintas Generasi, Sedangkan Kita? Dapat Cuan Dikit, Gaya Langsung Naik Selangit.'

 

Filosofi Waktu: Sabar Adalah Investasi

Filosofi orang Tionghoa sangat menghargai waktu dan kesabaran. Mereka percaya pada pepatah “zuo shi yao changyuan”, artinya pikirkan segala sesuatu dalam jangka panjang. Mereka siap kerja keras selama 10 tahun, bahkan jika hasilnya belum terlihat dalam 5 tahun pertama.

Bandingkan dengan fenomena sekarang—baru jualan sebulan, belum laku, sudah overthinking, ganti nama brand, bahkan putus asa. Kita ingin viral dalam 10 hari. Mereka siap membangun pondasi selama 10 tahun.

Gaya Hidup Hemat: Kebajikan yang Diturunkan

Prinsip “jiejian shi meide” atau hemat adalah kebajikan, menjadi gaya hidup yang diwariskan turun-temurun. Anak-anak diajarkan mencatat pengeluaran sejak kecil. Modal bukan untuk dipamerkan, tapi untuk diputar kembali dalam bisnis.

Mereka tidak tergoda dengan gengsi. Gaji besar tidak selalu berarti hidup mewah. Mereka lebih senang menyimpan uang untuk ekspansi daripada update OOTD mahal atau kopi kekinian. Sebaliknya, kita kadang baru gajian langsung habis untuk eksistensi di media sosial.

Keluarga: Pondasi yang Tak Tergantikan

Salah satu kunci kekuatan masyarakat Tionghoa adalah keharmonisan keluarga. “Jia he wan shi xing”, artinya jika keluarga kompak, segala urusan akan berjalan lancar.

Dari dapur hingga kasir, semua anggota keluarga ikut bekerja. Tidak ada yang gengsi. Tak sedikit usaha besar bermula dari kompaknya pasangan suami istri yang kerja bareng, lalu diteruskan oleh anak-anaknya. Di sisi lain, banyak dari kita justru menghindari kerja sama keluarga karena takut ribut, atau malah ribut duluan gara-gara pembagian hasil.

Guanxi: Relasi yang Bernilai Lebih dari Uang

Dalam budaya Tionghoa, ada satu prinsip penting: guanxi, yang berarti jaringan relasi. Pepatah mereka berkata, “Guanxi jiu shi caifu”, artinya relasi adalah kekayaan. Mereka membangun kepercayaan selama bertahun-tahun, bahkan tanpa kontrak.

Yang dijaga bukan hanya keuntungan, tapi integritas. Mereka tahu bahwa bisnis sehat dibangun dari hubungan jangka panjang, bukan dari janji manis saat pitching.

Kita Bisa Belajar, Kita Bisa Berubah

Memang tidak semua orang Indonesia hidup dengan prinsip serba instan. Tapi faktanya, gaya hidup konsumtif masih mendominasi. Data dari BPS dan OJK mencatat lebih dari 50% anak muda Indonesia tidak punya dana darurat. Survei Katadata 2022 menunjukkan 7 dari 10 anak muda usia 20–35 lebih memilih gaya hidup daripada menabung atau investasi.

Sementara itu, banyak keluarga Tionghoa dari generasi ke generasi sudah memiliki portofolio properti dan usaha sejak usia muda. Kekayaan mereka dibangun dari nilai, bukan penampilan.

Kita sering terjebak dalam mentalitas “gaya dulu, mikir belakangan.” Baru sekali menang proyek langsung cicil mobil. Rela berutang demi terlihat sukses. Padahal, kaya itu bukan soal tampil mewah, tapi soal kemampuan bertahan dan berkembang secara konsisten.

Tamparan Lembut untuk Membuka Mata

Apakah semua orang Tionghoa sukses? Tentu tidak. Tapi mereka punya sistem nilai yang diwariskan turun-temurun. Hidup bagi mereka adalah maraton, bukan sprint. Dan kekayaan sejati bukan untuk dipamerkan, tapi untuk diwariskan dalam bentuk aset, etos kerja, dan prinsip hidup.

Kalau semua ini terasa menampar, mungkin memang kita butuh tamparan itu. Bukan untuk merendahkan, tapi untuk menyadarkan. Bahwa kita masih bisa belajar. Kita masih bisa berubah.

Karena pada akhirnya, pilihan ada di tangan kita sendiri: mau terus cari validasi dari lingkungan, atau mulai membangun fondasi untuk masa depan.

Jika hari ini kita masih merintis, ingatlah: pelan bukan berarti gagal. Asal konsisten, maka kita sedang menapaki jalan menuju sesuatu yang lebih besar dari sekadar pujian sesaat.

Bangun bisnis dari ketekunan, bukan gengsi. Simpan cuan untuk ekspansi, bukan eksistensi. Gengsi bisa ditunda, tapi fondasi harus diprioritaskan.